Realitas yang tak terbantahkan bahwa pemuda merupakan lapisan kader yang
paling siap untuk dikembangkan sebagai elemen penting dalam perubahan sistem
demokrasi. Sehingga tanpa pemuda, proses demokrasi dipastikan akan mengalami
hambatan serius yang bisa mengancam masa depan bangsa. Dengan demikian,
sesungguhnya pemuda merupakan aset yang paling berharga, apalagi kalau pemuda tersebut
mampu memainkan perannya secara baik dan berkualitas. Selain itu, eksistensi
pemuda memiliki makna penting dalam proses pendidikan demokrasi. Tak ada
kekuatan formal bangsa yang bisa lepas dari tanggungjawab etisnya dalam
memajukan pendidikan demokrasi. Artinya, tanggung jawab bagi terselenggaranya
proses pendidikan demokrasi secara baik, merupakan tanggung jawab semua pihak.
Namun harus disadari, kiprah pemuda dalam demokrasi belum sepenuhnya
mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis yang berkepanjangan. Pemuda yang
ketika masih menjadi aktivis sangat kelihatan idealismenya, turun ke jalan
meneriakkan reformasi dan penegakan demokrasi. Namun setelah duduk di parlemen
tidak terdengar teriak lantangnya untuk memperjuangkan nasib rakyat yang masih dalam
kesulitan. Tentu hal ini kontra produktif dengan peran pemuda sebagai pelopor
perubahan. Tetapi harus diakui, ada pula pemuda yang terjun dalam politik tetap
menjaga idealismenya dan tidak segan-segan menentang ketidakadilan.
Pada pemilu lalu, banyak mengusung pemuda sebagai calon legislatif. Tentu kita berharap, pemuda yang akan duduk di parlemen
benar-benar bisa memperjuangkan nasib bangsa ini keluar dari masa transisi dan
krisis yang berkelanjutan. Optimisme harus tetap dijaga dengan cara menumbuhkan
kesadaran bahwa keterlibatan pemuda dalam dunia politik adalah sebuah
pengabdian yang tulus untuk membangun cita-cita bangsa yang telah diperjuangkan
sejak zaman penjajahan. Menjaga idealisme memerlukan pemahaman aturan-aturan
yang berlaku, tidak menyiasati aturan untuk kepentingan pragmatis, serta
berlebihan memaknai kekuasaan.
Munculnya sayap-sayap pemuda di partai politik, tentunya menjadi fenomena
menarik sebab dari sana
terlihat secara nyata bagaimana elemen pemuda dalam partai politik berkiprah
dan mengembangkan pengaruhnya secara internal dan eksternal partai. Mengingat
dengan ikut berkiprahnya mereka di partai politik, mereka akan mendapatkan
kesempatan untuk mengaksentuasikan minat politiknya serta mengimplementasikan
pandangan dan sikap idealisme. Dengan turut berkiprah di partai politik, pemuda
berkesempatan menyumbangkan kontribusi nyata bagi pembangunan demokrasi
(politik), dimana didalamnya mensyaratkan eksistensi dan peran utama
partai-partai politik. Makna kehadiran pemuda dalam partai politik merupakan
modal berharga bagi partai-partai politik manapun, mengingat tanpa didukung
oleh elit politik pemuda yang memadai/proporsional, maka partai politik itu akan
kehilangan ”daya hidupnya”. Dengan kata lain, pemuda merupakan elemen vital
lokomotif partai politik.
Transformasi politik di satu sisi adalah soal struktural, sebagaimana
tujuan partai politik untuk mencapai kekuasaan, membangun sistem politik, dan
bagaimana para pelaku politik mampu menggerakkannya. Dilain pihak, transformasi
politik secara kultural menjadi suatu yang absah, yaitu bagaimana menggerakkan
partai politik untuk menjalankan fungsi-fungsinnya bagi masyarakat untuk
menciptakan suatu budaya politik yang egalitarian, berdasarkan komitmen
pembaharuan dari para pelaku politik.
Kedua sisi tersebut melingkupi kaum muda dalam dalam melakukan
transformasi politik. Secara struktural, jauh lebih memungkinkan untuk mampu
menggerakkan kelembagaan partai politik secara institusional jika kaum muda
mengambil posisi sebagai praktisi politik dalam struktur partai politik.
Menggerakkan roda organisasi untuk melakukan reproduksi mekanis atas suatu
peristiwa politik, bukan untuk pencapaian tujuan kekuasaan semata. Sama
berartinya jika kaum muda mengambil posisi untuk melakukan transformasi politik
secara kultural, dengan melihat bahwa kerja-kerja politik bukanlah urusan
teknis yang mekanistik tetapi pekerjaan intelektual, yaitu menggerakkan tujuan
perubahan berdasarkan pergulatan dan dialektika yang intens antara persepsi
dirinya dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu
bangunan negara. Dengan ini, bentuk perubahan yang dilakukannnya adalah hasil
pergulatan dirinya dengan persoalan dengan melibatkan tanggungjawab sosialnya
dan integritas intelek-tual yang dimilikinya.
Cita-cita ideal yang diharapkan atas dua pola pendekatan transformasi
politik itu, adalah terbangunnya budaya politik (cultur politic) dan
masyarakat madani (civil society), yaitu menggerakkan keadaan
sebagaimana mestinya, mempertimbangkan kemanfaatannya, serta memberi perspektif
terhadap nilai yang sedang dianut ditengah masyarakat sebagai budaya politik.
Itu artinya bahwa, bagi pemuda yang akan melakukan transformasi politik bukanlah
suatu tanggung jawab yang bebas nilai, tetapi memiliki seperangkat nilai yang
menjadi referensi pergerakannya, serta memperjelas visi ideal atas cita-cita
yang hendak dicapainya.
Pada saat adanya kepentingan dalam suatu tanggungjawab, pada saat itu jugalah
objektivitas memerlukan ujian sebagai pertaruhan integritas terhadap setiap
diri. Substasinya adalah soal problematika kepentingan itu sendiri, dalam kamus
politik dikenal pameo “Tidak ada kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan itu
sendiri”. Jika demikian mestinya, masih mampukah pemuda diharapkan menjadi
elemen perubah dalam tatanan politik ke-Indonesia-an masa depan, ataukah hanya
berposisi sebagai suatu realitas politik yang sudah demikian adanya.
Sebagai jawaban sederhana terhadap persoalan ini, bahwa kultur politik
era reformasi saat ini, tidak memberi ruang bagi pemuda untuk berposisi sebagai
pengabsah semata. Karena jika tidak bergeser dari ideologi pragmatisme, maka
sistem politik ke-Indonesia-an yang sedang berubah dan bergerak begitu sangat
cepat, pasti akan menggilasnya. Dan pada saatnya kelak, zaman yang akan
mencatatnya dalam lembaran sejarah yang buruk.
No comments:
Post a Comment