Thursday, 7 May 2015

PEMUDA: Politik & Demokrasi


Realitas yang tak terbantahkan bahwa pemuda merupakan lapisan kader yang paling siap untuk dikembangkan sebagai elemen penting dalam perubahan sistem demokrasi. Sehingga tanpa pemuda, proses demokrasi dipastikan akan mengalami hambatan serius yang bisa mengancam masa depan bangsa. Dengan demikian, sesungguhnya pemuda merupakan aset yang paling berharga, apalagi kalau pemuda tersebut mampu memainkan perannya secara baik dan berkualitas. Selain itu, eksistensi pemuda memiliki makna penting dalam proses pendidikan demokrasi. Tak ada kekuatan formal bangsa yang bisa lepas dari tanggungjawab etisnya dalam memajukan pendidikan demokrasi. Artinya, tanggung jawab bagi terselenggaranya proses pendidikan demokrasi secara baik, merupakan tanggung jawab semua pihak.
Namun harus disadari, kiprah pemuda dalam demokrasi belum sepenuhnya mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis yang berkepanjangan. Pemuda yang ketika masih menjadi aktivis sangat kelihatan idealismenya, turun ke jalan meneriakkan reformasi dan penegakan demokrasi. Namun setelah duduk di parlemen tidak terdengar teriak lantangnya untuk memperjuangkan nasib rakyat yang masih dalam kesulitan. Tentu hal ini kontra produktif dengan peran pemuda sebagai pelopor perubahan. Tetapi harus diakui, ada pula pemuda yang terjun dalam politik tetap menjaga idealismenya dan tidak segan-segan menentang ketidakadilan.
Ketika orientasi pemuda yang terlibat dalam sistem demokrasi Indonesia adalah untuk mencari sumber penghidupan atau nafkah, maka nilai-nilai jiwa idealisme yang diperjuangkan ketika menjadi aktivis pemuda maupun aktivis mahasiswa akan luntur. Tidak akan ada lagi keberanian untuk menyampaikan kepentingan rakyat yang tidak ada hubungannya dengan kelanggengan kekuasaannya. Kepentingan pragmatis akan selalu diperjuangkan dan cenderung takut kehilangan jabatan, takut dipecat, atau takut tidak dicalonkan lagi oleh partainya. Hal ini memang banyak menimpa tokoh pemuda kita.
Pada pemilu lalu, banyak mengusung pemuda sebagai calon legislatif. Tentu kita berharap, pemuda yang akan duduk di parlemen benar-benar bisa memperjuangkan nasib bangsa ini keluar dari masa transisi dan krisis yang berkelanjutan. Optimisme harus tetap dijaga dengan cara menumbuhkan kesadaran bahwa keterlibatan pemuda dalam dunia politik adalah sebuah pengabdian yang tulus untuk membangun cita-cita bangsa yang telah diperjuangkan sejak zaman penjajahan. Menjaga idealisme memerlukan pemahaman aturan-aturan yang berlaku, tidak menyiasati aturan untuk kepentingan pragmatis, serta berlebihan memaknai kekuasaan.
Munculnya sayap-sayap pemuda di partai politik, tentunya menjadi fenomena menarik sebab dari sana terlihat secara nyata bagaimana elemen pemuda dalam partai politik berkiprah dan mengembangkan pengaruhnya secara internal dan eksternal partai. Mengingat dengan ikut berkiprahnya mereka di partai politik, mereka akan mendapatkan kesempatan untuk mengaksentuasikan minat politiknya serta mengimplementasikan pandangan dan sikap idealisme. Dengan turut berkiprah di partai politik, pemuda berkesempatan menyumbangkan kontribusi nyata bagi pembangunan demokrasi (politik), dimana didalamnya mensyaratkan eksistensi dan peran utama partai-partai politik. Makna kehadiran pemuda dalam partai politik merupakan modal berharga bagi partai-partai politik manapun, mengingat tanpa didukung oleh elit politik pemuda yang memadai/proporsional, maka partai politik itu akan kehilangan ”daya hidupnya”. Dengan kata lain, pemuda merupakan elemen vital lokomotif partai politik.
Transformasi politik di satu sisi adalah soal struktural, sebagaimana tujuan partai politik untuk mencapai kekuasaan, membangun sistem politik, dan bagaimana para pelaku politik mampu menggerakkannya. Dilain pihak, transformasi politik secara kultural menjadi suatu yang absah, yaitu bagaimana menggerakkan partai politik untuk menjalankan fungsi-fungsinnya bagi masyarakat untuk menciptakan suatu budaya politik yang egalitarian, berdasarkan komitmen pembaharuan dari para pelaku politik.
Kedua sisi tersebut melingkupi kaum muda dalam dalam melakukan transformasi politik. Secara struktural, jauh lebih memungkinkan untuk mampu menggerakkan kelembagaan partai politik secara institusional jika kaum muda mengambil posisi sebagai praktisi politik dalam struktur partai politik. Menggerakkan roda organisasi untuk melakukan reproduksi mekanis atas suatu peristiwa politik, bukan untuk pencapaian tujuan kekuasaan semata. Sama berartinya jika kaum muda mengambil posisi untuk melakukan transformasi politik secara kultural, dengan melihat bahwa kerja-kerja politik bukanlah urusan teknis yang mekanistik tetapi pekerjaan intelektual, yaitu menggerakkan tujuan perubahan berdasarkan pergulatan dan dialektika yang intens antara persepsi dirinya dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu bangunan negara. Dengan ini, bentuk perubahan yang dilakukannnya adalah hasil pergulatan dirinya dengan persoalan dengan melibatkan tanggungjawab sosialnya dan integritas intelek-tual yang dimilikinya.
Cita-cita ideal yang diharapkan atas dua pola pendekatan transformasi politik itu, adalah terbangunnya budaya politik (cultur politic) dan masyarakat madani (civil society), yaitu menggerakkan keadaan sebagaimana mestinya, mempertimbangkan kemanfaatannya, serta memberi perspektif terhadap nilai yang sedang dianut ditengah masyarakat sebagai budaya politik. Itu artinya bahwa, bagi pemuda yang akan melakukan transformasi politik bukanlah suatu tanggung jawab yang bebas nilai, tetapi memiliki seperangkat nilai yang menjadi referensi pergerakannya, serta memperjelas visi ideal atas cita-cita yang hendak dicapainya.
Pada saat adanya kepentingan dalam suatu tanggungjawab, pada saat itu jugalah objektivitas memerlukan ujian sebagai pertaruhan integritas terhadap setiap diri. Substasinya adalah soal problematika kepentingan itu sendiri, dalam kamus politik dikenal pameo “Tidak ada kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan itu sendiri”. Jika demikian mestinya, masih mampukah pemuda diharapkan menjadi elemen perubah dalam tatanan politik ke-Indonesia-an masa depan, ataukah hanya berposisi sebagai suatu realitas politik yang sudah demikian adanya.

Sebagai jawaban sederhana terhadap persoalan ini, bahwa kultur politik era reformasi saat ini, tidak memberi ruang bagi pemuda untuk berposisi sebagai pengabsah semata. Karena jika tidak bergeser dari ideologi pragmatisme, maka sistem politik ke-Indonesia-an yang sedang berubah dan bergerak begitu sangat cepat, pasti akan menggilasnya. Dan pada saatnya kelak, zaman yang akan mencatatnya dalam lembaran sejarah yang buruk.

No comments:

Post a Comment