Hari ini ada
ujian penerimaan karyawan dan bersamaan juga harus menunggu ayah yang lagi
operasi. Kesempatan ikut ujian hanya sekali untuk pekerjaan masa depan, dan
ayah juga kita hanya punya satu. Lain lagi, kita sudah membuat janji dengan bos
kantor yang ada di luar kota akan menghadiri acara pernikahannya, seketika pas
acara bersamaan, tetangga yang masih ada hubungan saudara juga ada acara nikah.
Bos memegang kelangsungan pekerjaan dan tetangga adalah tempat sandaran keluarga
pertama di tempat tinggal. Sangat sulit memang untuk memecahkannya, karena
pilihannya terlalu terbatas. Keadaan lainnya yang sering kita temui yaitu
secara bersamaan, apakah kita memilih orang tua atau pacar, melilih mertua atau
istri, memilih keluarga atau istri dan memilih anak atau istri. Jika hanya
sebatas tulisan atau ucapan sangat gampang kita akan memilih menyelesaikan
masalahnya. Tetapi jika sudah mengalami sendiri. Kepala akan terasa lebih
berat.
Sebuah percakapan
di dalam kelas antara mahasiswi dan dosen. Dosen menyuruh menulis 10 orang yang
paling dia sayangi. Kemudian Ia menulisnya di papan tulis. Selesai menulis
dosen menyuruh menghapus satu dari 10 orang yang kurang ia sayangi. Tanpa
berpikir panjang, mahasiswi tersebut menghapus satu nama temannya. Dosen
kemudian berkata lagi, dari sembilan nama ini hapuslah satu nama lagi yang kurang
kamu sayangi. Dia pun langsung menghapus nama tetangganya. Kemudian, dosen
berkata lagi, kamu hapus 2 nama lagi yang kurang kamu sayangi. Mahasiwi itu
tidak keberatan melakukannya karena itu adalah perintah dosennya. Kemudian ia
menghapus 2 nama sahabatnya, jadi masih tinggal 6 nama. Tidak berhenti sampai
disitu, ternyata dosen masih menyurus menghapus lagi 2 nama orang yang kurang
iya sayangi, kali ini ia mulai berpikir, mengapa dosen ini menempatkannya
dengan pilihan yang sangat sulit di hadapan teman mahasiswa sekelasnya. Agak
lama dia memandang nama-nama itu, akhirnya, dia menghapus nama saudara dan nama
ayahnya. Kemudian dia tertunduk dan bingung dengan tindakannya sendiri yang di
saksikan oleh semua yang ada di kelas itu. Sekarang masih tersisa nama ibu,
suami dan dua anaknya. Tidak berhenti, Dosen kemudian berkati lagi,
"hapuslah satu dari nama tersebut. Kali ini mahasiswi tersebut benar-benar
bingung nama siapa yang akan ia hapus. Dengan berat dan malas, ia terpaksa
menghapus satu nama anknya. Dosenpun bertanya,
mengapa engkau menghapus nama
anakmu, apa kamu tidak sayang anakmu? Mengapa bukan ibu mu? Dia menjawab, aku
ingin membalas budi pada orang tuaku, jadi dia tetap aku sayangi, karena aku
telah menghapus nama ayahku. Dan aku masih punya satu nama anak, aku masih bisa
menyayanginya. Setelah menjawab, mahasiswi tadi merasa sudah cukup karena dia
telah menjawab semua pertanyaan dosennya. Ternyata tidak, disuruh lagi harus
menghapus 1 nama yang kurang ia sayangi dari ketiganya. Kali ini semua
mahasiswa heran memandangi dan tidak ada yang bersuara. Mahasiswi ini sudah
merasa diperhatikan oleh semua teman-temannya, tetapi pandangannya kosong, dengan
sangat malas ia menganglat penghapus dan menghapus nama anaknya lagi satu. Wahhh…mengapa
kamu mengjapus nama anakmu? Kamu tidak punya anak lagi sekarang? tanya dosen
menyambung. Dengan tetap menunduk dan tebata-bata, dia menjawab, aku akan lebih
sakit jika belum dapat membahagiakan orang tuaku, anak nanti bisa dilahirkan
kalau diizinkan karena aku masih punya suami, tetapi seorang ibu itu, tidak.
Namun, dosennya pun melanjutkan menyuruh harus memilih satu nama yang paling
kamu sayangi. Kali ini mahasiswa ini terlihat seperti mau menangis, matanya
berkaca-kaca diposisikan sangat sulit dihapadan semua teman sekelasnya, Ia
merjalan mendekati papan tulis dan mengangkat tangannya yang berat dengan
penghapus, Ia menyisakan nama swaminya. Dosen pun ingin mengetahui alasannya
mengapa yang tadi ia mengatakan sangat menyayangi ibunya tetapi dicoret. Dia pun
menjelaskan semuanya dengan nada rendah dan pelan. Jika aku tanpa suami aku
tidak akan bisa hidup. Bagaimana aku yang tidak bisa hidup tanpa suami, bisa
melayani ibu meski aku memilih nama ibu. Kemudian wajah yang tadinya tertunduk
kemudian terangkat dan menghadap dosen dan teman-temannya sembari melanjutkan
penjelasannya, suami bagiku adalah semangat hidup tumpuan hidup dan bagian dari
hidupku, dia selalu ada disaat senang maupun susah, meski beberapa kali sering
bertengkar, namun ia tetap menemani hidupku. Ayah atau ibu akan melepas kita
dan berkurang perhatianyya ketika kita menikah, dia hanya akan mengharapkan cucu.
Setelah kita menikah, tidak harus selalu bersandar dari orang tua dan menuntut
perhatiannya. Memang benar anak akan tumbuh dewasa dan menerus keturunan kita.
Tetapi, kita semua harus sadar, anak hanya dekat dengan kita hanya ketika dia
masih muda, ketika ia sudah berkeluarga, dia akan senantiasa menjauh ada dan
akan berkurang perhatiannya juga serta kita tidak bisa menuntut dan mengatur
lagi layak seperti masa ia muda. Kita hanya akan ditemani oleh suami, suami yang akan
merawat kita disaat sakit, memasakan nasi dikala kita sudah tua tidak mampu,
menggendong kita untuk melihat pemandangan, mengajak kita menikmati hari tua.
Dia adalah teman hidup yang paling setia dan selalu ada, jarang aku melihat
anak yang merawat kedua orang tuanya, meskipun ada itu karena orang tuany masih
tinggal satu entah ayah atau ibunya saja. Dan kebanyakan yang orang tua yang
hanya tinggal satu, anaknya akan menitipkan di panti jompo atau tidak terlantar
(dalam artian tidak mendapat perhatian penuh, hanya diperhatikan ketia ia sudah
meninggal). Dan itu tidak akan terjadi jika kedua orang tuanya masih hidup, suami
dan istri masih bisa saling bahu membahu sampai tua. Seketika semua kelas
menjadi sunyi sesaat, dan bertepuk tangan setelah dosen mengakan “luar bisa
kamu”.
Kadang situasi
seperti itu sering kita temui di dalam kehidupan, jadi kita harus benar-benar
mematangkan piihan kita dengan alasan yang kuat dan tidak salah pilih.
No comments:
Post a Comment